Jumat, 23 November 2012

MATERI KELAS XII BAB III AKHLAK BERPAKAIAN, BERHIAS, BERTAMU, MENERIMA TAMU


1.      Pengertian   Akhlak Berpakaian,  Akhlaq Berhias,  Akhlak Bertamu,  dan Menerima Tamu.
Ø  Pakaian dalam bahasa arab disebut dengan kata libasun-siyabun, menurut kamus bahasa Indonesia adalah diartikan sebagai barang yang dipakai seorang baik berupa baju, celana, sarung, selendang, jubah, dan sorban.
Secara istilah pakian adalah segala sesuatu yang dikenakan seorang dalam berbagai ukuran dan modenya.
Ø  Berhias dalam bahasa arab tazaiyana-yataziyanu, dalam kamus bahasa Indonesia berhias diartikan usaha memperelok diri dengan pakaian ataupun lainya yang indah-indah, berdandan dengan dadanan indah dan menarik.
Secara istilah, berhias dapat dimaknai sebagai upaya setiap orang untuk memperindah diri dengan berbagai busana, aksesoris, atau make-up yang dapat memperelok diri bagi  pemakainya sehingga memunculkan kesan indah bagi yang menyaksikan serta menambah rasa percaya diri penampilan untuk tujuan tertentu.
Ø  Bertamu dalam bahasa arab ata liziyarati-istadafa-yastadifu, dalam kamus bahasa Indonesia bertamu diartikan dating berkunjung ke rumah seorang teman ataupun kerabat untuk satu tujuan atapun maksud (melawat dan sebagainya).
Secara istilah, bertamu  merupakan kegiatan mengunjungi rumah sahabat kerabat ataupun orang lain dengan tujuan untuk menjalin persaudaraan ataupun untuk keperluan lain dalam rangka menciptakan kebersamaan dan kemaslahatan bersama
Ø  Menerima Tamu, dalam bahasa arab disebut dengan kata atahu daiqun.  dalam kamus bahasa Indonesia menerima tamu (ketamuan) diartikan kedatangan seseorang yang melawat atau berkunjung.
Secara istilah menerima tamu dimaknai menyambut seseorang dengan berbagai cara  penyambutan yang lazim (wajar) dilakukan menurut adat ataupun agama dengan maksud untuk menyenangkan atau memuliakan tamu, atas dasar keyakinan untuk mendapatkan rahmat dan ridha dari Allah SWT.

2.      وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)

Artinya “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (An-Nur:31).
3.      hikmah dari mengunakan pakaian yang baik, Akhlaq di dalam  Perjalanan, dan Akhlak Bertamu, 
v  hikmah mengunakan pakaian sesuai ajaran agama Islam
a.    Mendatangkan rasa aman dan tenang
b.    Menumbuhkan sikap tawaddhu dan rendah hati
c.    Terlindung dari sengatan panas dan dinginnya cuaca
d.   Terhindar dari ganguan pandangan yang berlebihan
e.    Mencerminkan kepribadian seseorang
v  hikmah Berakhlaq di dalam  Perjalanan sesuai ajaran agama Islam
a.       perjalanan yang bermanfaat dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh tambahan ilmu, baik dari hasil pengamatanya selama dalam perjalanan atau bertemu dengan seorang  dalam perjalanan
b.      akan mengenal berbagai adat, etika,  norma dalam suatu kelompok masyarakat yang di lalui
c.       menambah kawan, teman yang baik dan mulia
d.      menghibur diri dari berbagai kesedihan.
v  hikmah Akhlak Bertamu sesuai ajaran agama Islam
a.       mempererat hubungan tali silaturahim antar sesama
b.      melatih kesabaran, kearifan dan kebijaksanaan
c.       belajar menghargai, memuliakan orang lain.
4.      akibat yang ditimbulkan apabila  mengunakan pakaian, berhias, secara berlebihan/tidak sesuai ajaran agama Islam
v  larangan berhias dan berbusana berlebihan di riwayatkan dari aisyah ra, katanya ketika Rasulullah S.A.W sedang duduk beristirahat di masjid, tiba tiba ada seorang perempuan golongan muzainah terlihat memamerkan dandanannya di masjid sambil menyeretnyeret busana panjangnya Rasulullah S.A.W bersabda:”hai sekalian manusia, laranglah istri istrimu (termasuk anak anak remaja perempuan yang mereka miliki) mengenakan dandanan seraya berjalan angkuh. nanti (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nassai dan Ibnu Majah).

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ...
Artinya.“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin; “hendaklahmereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka”.Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu (oleh lidah/tangan usil)” (Q.S.Al-Ahzâb (33): 59).
v  Siapa yang memakai pakaian (yang bertujuan mengundang) popularitas, maka Allah akan mengenakan untuknya pakaian kehinaan pada hari kemudian, laludikobarkan pada pakainnya itu api”. (H.R. Abû Daud). Yang dimaksud disini adalah bila tujuan memakainya mengundang perhatian dari laki-lakidan bertujuan memperoleh popularitas. Pemilihan mode busana tertentu juga tercakup di sini, akan tetapi bukan berarti seseorang dilarang memakai pakaian yang indah dan bersih, karena itu itulah justru yang dianjurkan.
5.      Tata cara bertamu dan menyambut tamu menurut ajaran agama Islam
v  Tata cara bertamu. Sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah orang yang bertamu terlebih dahulu meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Allah berfirman: Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.”(.Surat an-Nur/24/27). Berdasarkan isyarat al-Qur’an di atas, maka yang pertama dilakukan adalah meminta izin, baru kemudian mengucapkan salam. Sedangkan menurut mayoritas ahli fiqih berpendapat sebaliknya. Menurut Rasululluh SAW, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali. Disamping meminta izin dan mengucapkan alam, hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang bertamu sebagai berikut:
a.       Jangan bertamu sembarangan waktu
b.      Kalau diteima bertamu, jangan terlalu lama sehingga merepotkan tuan rumah. Setelah urusan seleai segeralah pulang
c.       Jangan melakukan kegiatang yang membuat tuan rumah terganggu
d.      Kalau diuguhi minuman atau makanan hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasulullah saw. Menganjurkan kepada orang yang berpuasa sunnah sebaiknya berbuka puasanya untuk menghormati jamuan
e.       Hendaklah pamit pada waktu mau pulang.
v Tata cara menyambut tamu
Setiap muslim harus membiasakan diri untuk menyambut setiap tamu yang datang dengan penyambutan yang penuh suka cita. Agar dapat menyambut tamu dengan suka cita maka tuan rumah harua menghadirkan pikiran yang positif (husnudon) terhadap tamu, jangan sampai kehadiran tamu disertai dengan munculnya pikiran negativedari tuan rumah (su’udzon).Apabila suatu saat tuan rumah meraakan berat untuk menerima kehadiran tamunya, maka tuan rumah haru tetap menunjukkan sikap yang arif dan bijak, jngan sampai menyinggung perasaan tamu. Seyogyanya setiap muslim harus menunjukkan sikap yang baik terhadap tamunya, mulai dari keramahan diri dalam menyambut tamu, menyediakan sarana dan prasarana penyambutan yang memadai, serta memberikan jamuan makan ataupun minuman untuk tamu

MATERI KELAS XI BAB IV IMAN KEPADA RASULULLAH


1.        Pengertian Iman Kepada Rasul
percaya dengan sepenuh hati, diucapkan dengan lisan dan melaksanakan/mencontoh segala perilaku yang dikerjakan oleh rasul dengan sebaik-baiknya.
2.        Pengertian Rasul dan Nabi, perbedaan Nabi dan Rasul
Ø Rasul adalah seorang laki-laki merdeka (bukan budak belian) yang diturunkan wahyu oleh Allah SWT untuknya dan mendapat perintah untuk menyiarkannya kepada semua makhluk terutama manusia dan jin.
Ø Nabi adalah : seorang manusia yang diberikan wahyu kepadanya dengan suatu syariat untuk diamalkan akan tetapi dia tidak diperintahkan untuk menyampaikannya.
Para ulama menyebutkan banyak perbedaan antara nabi dan rasul,  sebahagian di antaranya:
Ø Jenjang kerasulan lebih tinggi daripada jenjang kenabian. Karena tidak mungkin seorang itu menjadi rasul kecuali setelah menjadi nabi. Oleh karena itulah, para ulama menyatakan bahwa Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- diangkat menjadi nabi dengan 5 ayat pertama dari surah Al-‘Alaq dan diangkat menjadi rasul dengan dengan 7 ayat pertama dari surah Al-Mudatstsir. Telah berlalu keterangan bahwa setiap rasul adalah nabi, tidak sebaliknya.
Imam As-Saffariny -rahimahullah- berkata, “Rasul lebih utama daripada nabi berdasarkan ijma’, karena rasul diistimewakan dengan risalah, yang mana (jenjang) ini lebih ringgi daripada jenjang kenabian”. (Lawami’ Al-Anwar: 1/50)
Al-Hafizh Ibnu Katsir juga menyatakan dalam Tafsirnya (3/47), “Tidak ada perbedaan (di kalangan ulama) bahwasanya para rasul lebih utama daripada seluruh nabi dan bahwa ulul ‘azmi merupakan yang paling utama di antara mereka (para rasul)”.
Ø Rasul diutus kepada kaum yang kafir, sedangkan nabi diutus kepada kaum yang telah beriman.
Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan bahwa yang didustakan oleh manusia adalah para rasul dan bukan para nabi, di dalam firman-Nya:

ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَى كُلَّ مَا جَاءَ أُمَّةً رَسُولُهَا كَذَّبُوهُ

artinya:“Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya”. (QS. Al-Mu`minun : 44)
Dan dalam surah Asy-Syu’ara` ayat 105, Allah menyatakan:

كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ

artinya: “Kaum Nuh telah mendustakan para rasul”.
Allah tidak mengatakan “Kaum Nuh telah mendustakan para nabi”, karena para nabi hanya diutus kepada kaum yang sudah beriman dan membenarkan rasul sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-:

كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ

artinya:“Dulu bani Isra`il diurus(dipimpin) oleh banyak nab. Setiap kali seorang nabi wafat, maka digantikan oleh nabi setelahnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Ø Syari’at para rasul berbeda antara satu dengan yang lainnya, atau dengan kata lain bahwa para rasul diutus dengan membawa syari’at baru. Allah -Subhanahu wa Ta’ala-menyatakan

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
artinya: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang”.(QS.Al-Ma`idah:48)
Allah mengabarkan tentang ‘Isa bahwa risalahnya berbeda dari risalah sebelumnya di dalam firman-Nya:
وَلِأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ

artinya:“Dan untuk menghalalkan bagi kalian sebagian yang dulu diharamkan untuk kalian”.(QS.AliImran:50)
Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menyebutkan perkara yang dihalalkan untuk umat beliau, yang mana perkara ini telah diharamkan atas umat-umat sebelum beliau:

وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمَ وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا

artinya: “Dihalalkan untukku ghonimah dan dijadikan untukku bumi sebagai mesjid (tempat sholat) dan alat bersuci (tayammum)”.(HR.Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir)

Adapun para nabi, mereka datang bukan dengan syari’at baru, akan tetapi hanya menjalankan syari’at rasul sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada nabi-nabi Bani Isra`il, kebanyakan mereka menjalankan syari’at Nabi Musa -’alaihis salam-.

Ø Rasul pertama adalah Nuh -’alaihis salam-, sedangkan nabi yang pertama adalah Adam-’alaihissalam-. Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan:

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ

artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang setelahnya”.(QS.An-Nisa`:163) Dan Nabi Adam berkata kepada manusia ketika mereka meminta syafa’at kepada beliau di padang mahsyar:

وَلَكِنِ ائْتُوْا نُوْحًا فَإِنَّهُ أَوَّلُ رَسُوْلٍ بَعَثَهُ اللهُ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ

artinya:“Akan tetapi kalian datangilah Nuh, karena sesungguhnya dia adalah rasul pertama yang Allah utus kepada penduduk bumi”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik) Jarak waktu antara Adam dan Nuh adalah 10 abad sebagaimana dalam hadits shohih yang diriwayatkah oleh Ibnu Hibban (14/69), Al-Hakim (2/262), dan Ath-Thobarony (8/140).
Ø Seluruh rasul yang diutus, Allah selamatkan dari percobaan pembunuhan yang dilancarkan oleh kaumnya. Adapun nabi, ada di antara mereka yang berhasil dibunuh oleh kaumnya, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam surah Al-Baqarah ayat 91:

فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

artinya: “Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kalian orang-orang
yang beriman?”. Juga dalam firman-Nya:

وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ

artinya: “Mereka membunuh para nabi tanpa haq”. (QS. Al-Baqarah : 61)
Allah menyebutkan dalam surah-surah yang lain bahwa yang terbunuh adalah nabi, bukan rasul.

3.        fungsi rasul bagi manusia
Ø bimbingan ketauhidan, yaitu mengakui keesaan, keagungan dan kekuasaan Allah SWT.
Ø Membimbing umat manusia agar memilki akhlak mulia, untuk memperindah jiwa dan perilakunya.
Ø Menetapkan hukum-hukum dan segala peraturan yang harus diikuti oleh manusia selama-lamanya.

4.        tujuan diutusnya rasul
a.     menerangkan tentang allah SWT, yang sebenarnya, menerangkan tentang sifat Allah, dan segala yang berkaitan dengan hal-hal tersebut.
b.     Membimbing manusia berprilaku baik, dan beradab sempurna, karena apa yang manusia lakukan pasti memiliki dampak terhadap manusianya.
c.      Menerangkan bagaimana caranya manusia memuliakan, mengagungkan allah SWT dengan Ibadah, mencegah mereka melakukan perbuatan keji, menerangkan tentang pahala dan dosa.
d.     Mengatur kehidupan manusia, seperti urusan mu’amalah, munakahat, hukum jinayah, dan sebagainya untuk menegakan keadilan
e.     Membimbing manusia untuk memperbaiki urusan hidup, mendorong mereka beramal dan berusaha, mencegah mereka bersifat malas.

5.        Lanjutkan ayat berikut ini.

اِنَّمَا كَا نَ قَوْ لُ الْـمُـؤْ مِـنِــيْـنَ . إِذَادُ عُـوْ اِلَى اللهِ وَ رَسُوْ لِهِ لِـيَـحْـكُـمَ بَـيْـنَهُـمْ اِنْ يَـقُـوْ لُوْا سَـمِـعْـنَـا وَاَطَـعْـنَـا. وَاُوْلَـئِـكَ هُـمُ الْمُـفْـلِحُوْ نَ
51 النور:

وَمَا اَرْ سَـلْـنَا كَ اِلاَّ رَحْمَةً لِلْـعَا لَـمِـيْـنَ  
Artinya : “Dan tidaklah kami mengutus  kamu, melainkan untuk  (menjadi) rahmat bagi semesta alam”  (QS. Al-Anbiya:107)

MATERI KELAS X BAB IV (SYIRIK)


1.       Pengertian Syirik secara Bahasa dan Istilah
–  syirik secara bahasa adalah isim dari kata asyraka, yusriku, syirka, wasyirkatan.
–  syirik secara Istilah pendustaan terhadap Allah SWT dan kedustaan terhadapnya (meyakini adanya pencipta (tuhan) selain Allah SWT, karenanya Syirik ini dikategorikan kufur.

2.       Jenis/contoh dari syirik besar dan kecil
Contoh Syirik besar terdiri dari 3 jenis
a.       Syirik dalam berdoa, Allah SWT berfirman (Q S, Al-Ankabut : 29 : 65 )
b.      Syirik dalam niat, iradah, dan tujuan (Q S, Hud : 11 : 15 – 16)
c.       Syirik dalam ketaatan  ((Q S, At-Taubah : 9 : 31)
Contoh Syirik kecil terdiri dari
a.       Bersumpah dengan selain Allah SWT
b.      Memakai Azimat (untuk menolak bahaya atau mendapat rezeki)
c.       Mengunakan mantra-mantra untuk menolak kejahatan dan pengobatan
d.      Perbuatan sihir
e.      Ramalan atau perbintangan
f.        Bernazar pada selain allah
g.       Menyebelih binatang atau memersembahkan kurban bukan kepada Allah SWT.

3.       Macam-macam syirik dibagi menjadi 4 jenis
a.       Syirkul ‘ilm, terjadi pada ilmuwan. Mereka mengagungkan ilmu sebagai maha segalanya. mereka tidak mempercayai pengetahuan yang diwahyukan Allah. Contoh mereka mengatakan bahwa manusia berasal dari dari kera.
b.      Syirkut-tasarruf, syirik jenis ini pada prinsipnya, disadari atau tidak oleh pelakunya menentang bahwa Allah maha kuasa dan segala kendali atas penghidupan manusia berada ditagannya. Contoh, kepercayaan bahwa nabi isa AS anak tuhan, percaya pada dukun, tukang sihir, atau sejenisnya.
c.       Syirkul-‘Ibadah, syirik yang menuhankan pikiran, ide-ide, atau fantasi, percaya pada fakta-fakta yang konkret yang berasal dari pengalaman lahiriah. Misalnya, seorang yang atheis (tidak percaya adanya tuhan) memuja ide pengingkaran terhadap tuhan dalam berbagai bentuk kegiatan.
d.      Syirkul ‘Addah. Kepercayaan terhaadap tahayul. Contoh percaya bahwa angka 13 sebagai sial, sehingga tidak mau menggunakan angka tersebut. Menghubungkan kucing hitam dengan kejahatan.     

4.       Dampak /akibat negative perbuatan syirik
a.       Tidak dapat menerima kebenaran (Q S, Al-Baqarah  : 2 : 7)
b.      Selalu dalam keadaan bimbang dan ragu (Q S, Al-Baqarah : 2 : 10)
c.       Kesenangan yang diperoleh bersifat sementara (Q S, Al-Baqarah : 126)
d.      Harta yang dinafkahkan akan sia-sia (Q S, Ali Imran : 3 : 117)
e.      Nilai orang kafir adalah seburuk-buruk makhluk (Q S, Al-A’raf : 179)
f.        Menjadi musuh Allah SWT (Q S, Al-Baqarah : 2 : 98)
g.       Mendapat siksa di neraka (Q S, Ali imran : 3 : 106)

5.       Hikmah dari menghindari perbuatan syirik
a.       Menjadikan manusia memiliki pandangan yang luas, percaya bahwa Allah SWT sebagai penguasa dan pemelihara, tidak akan pernah merasa asing dengan apa pun yang ada di dunia.
b.      Mengangkat manusia ke derajat yang paling tinggi dan mulia.
c.       Mengalirkan rasa kesederhanaan dan kesahajaan. Tidak memiliki sikap/sifat pamer atau kepura-puraan, tidak angkuh dan sombong terhadap apa yang dimiliki.
d.      Membuat manusia menjadi suci dan benar.
e.      Memunculkan kepercayaan yang teguh dalam segala hal.
f.        Tidak mudah putus asa dengan keadaan yang dihadapi.
g.       Menumbuhkan keberanian dalam diri manusia.
h.      Mengembangkan sikap cinta damai dan keadilan
i.    Menjadi taat dan patuh kepada hukum-hukum Allah SWT.